Jumat, 25 Mei 2012

Filsafat China-Konfusius


Filsafat China (Tafsir Kitab Konfusius)
KITAB 10: ORANG BIJAK DALAM KEHIDUPAN KESEHARIANNYA
(Bab 1 - 14)

Pendahuluan
Konfusius lahir pada tahun 551 SM di Propinsi Shantung, China bagian timur. Dalam sejarah China, Konfusius adalah negarawan besar, pemikir besar, dan juga seorang pendidik. Pada masa hidup Konfusius, negaranya sedang mengalami kekacauan. Dengan kata lain, Konfusius hidup pada zaman disintegrasi sosial-politik dan kemerosotan moral. Berbagai penyimpangan dilakukan oleh pemerintah, disintegrasi negara, pemberontakan, dan terjadi begitu banyak kejahatan, serta banyak orang yang hidup tanpa aturan yang jelas. Kondisi sosial China pada saat itu menunjukkan ketidakteraturan, degradasi moral dan anarki intelektual. Dalam situasi demikian Konfusius menghasilkan berbagai gagasan pemikiran sebagai tanggapan atas permasalahan sosial yang dihadapi negaranya.[1]
Namun yang menjadi permasalahan juga adalah gagasan-gagasan Konfusius tidak mendapatkan perhatian pada masa hidupnnya. Ajaran Konfusius justru mengalami penindasan. Yang menjadi satu hal positif dari konfusius adalah walaupun gagasan-gagasannya tidak mendapat perhatian tetapi gagasan-gagasannya sendiri telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat, khususnya China. Gagasan-gagasan yang memberikan kontribusi besar yakni Etika dan moral serta pendidikan.
Dalam kitab 10 yakni orang bijak dalam kehidupan kesehariannya juga menggambarkan pemikiran Konfusius mengenai tindakan moral. Dengan kata lain pendidikan moral merupakan ajaran yang sangat ditekankan oleh Konfusius. Yang menjadi pertanyaan bagi penulis adalah pertama, ketika melihat gambaran umum dari kitab 10 ini, apakah yang menjadi konteks pembicaraan yang dapat dijelaskan? Kedua, apa makna yang dapat diambil dari ayat-ayat di dalam kitab tersebut? Ketiga, bagaimana dapat menjelaskan makna dari teks yang telah dipilih dalam kaitan dengan relevansi sekarang? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, penulis akan membuat paper ini dalam bentuk tiga bagian yakni pertama, penjelasan tentang konteks dari kitab 10 yang berbicara mengenai orang bijak dalam kesehariannya. Kedua, pendalaman tentang ayat-ayat yang berada dalam kitab kesepuluh (khususnya bab 1-14), dan ketiga, refleksi dan relevansi dari makna yang didapat.





I.       Konteks Kitab
Setelah membaca keseluruhan mengenai kitab ini, ditemukan bahwa yang menjadi konteks dalam kitab 10 (Orang bijak dalam kehidupan kesehariannya) yakni Istana di zaman Konfusius. Dengan kata lain, kitab ini lebih berbicara mengenai konteks moralitas dari Konfusius dalam Istana pada zamannya. Konteks moralitas ini dilihat sebagai prinsip yang mengantar seseorang menjadi bijaksana.
Kata moralitas berarti keseluruhan nilai-nilai dan norma-norma moral seseorang atau suatu masyarakat. Dengan nilai moral dimaksudkan sesuatu yang diyakini bermakna mulia dan ideal, dan karena itu dicita-citakan oleh seseorang atau sekelompok orang. Sedangkan dengan norma moral dimaksudkan aturan tentang bagaimana seseorang atau sekelompok orang harus hidup atau berperilaku supaya disebut manusia yang baik. Nilai dan norma moral terhimpun di dalam apa yang disebut moralitas. Itu berarti moralitas merupakan sistem nilai dan norma tentang bagaimana manusia harus bertindak agar disebut manusia yang baik.[2]
Menurut Konfusius, moralitas mempunyai beberapa prinsip yakni Jen, Li, Yi, Hsiao, dan Cheng Ming. Jen berarti kemanusiaan. Menurut Konfusius, hidup menurut jen berarti penyadaran hati nurani yang disebut dengan (Chung) dan altrusme (Shu). Chung menuntut perkembangan dan ekspresi kemanusiaan, sedangkan Shu menunjuk pada perwujudan Jen kepada yang lain. Artinya setiap orang wajib mengembangkan dan menghidupkan kebajikan serta merealisasikannya kepada orang lain. Jen sendiri merupakan dasar dari kemanusiaan tetapi menurut Konfusius, Jen membutuhkan Li, Yi, Hsiao, dan Cheng-Ming untuk dapat terwujudnya keutamaan moral. Li menyangkut sikap kita yang pantas, yang wajar atau sikap kita yang sepatutnya atau sepantasnya ketika kita berhadapan dengan orang lain. Yi menyangkut cara bertindak yang benar dan tepat dalam situasi khusus supaya selaras dengan Jen. Hsiao menyangkut keutamaan atau kebajikan untuk menghormati dan menghargai keluarga. Hal ini menunjuk pada sikap hormat dan respek, cinta seorang anak kepada orang tua yang kemudian mengalami perkembangan dan menunjuk pada kebajikan moral  dan sosial seseorang. Cheng-Ming menunjuk pada kesesuaian antara tindakan yang dilakukan dengan identitas dari orang yang melakukan tindakan tersebut.[3] Dengan demikian Konfusius dalam kitab ke-10 mengajarkan bahwa menjadi orang yang bijaksana, haruslah bertindak dengan moral yang baik. Tujuan utama dari ajaran Konfusius yang diajarkan kepada setiap orang adalah agar setiap orang mempunyai moral yang berkualitas tinggi.[4] Dengan kata lain orang yang bijak dalam kesehariaannya berarti orang yang dalam kesehariaannya mempunyai moral yang baik bagi diri sendiri dan orang lain
.
II.    Teks-Teks Yang Didalami
Setelah membaca teks-teks yang menjadi bagian saya (bab 1-14),  ditemukan bahwa yang menjadi konteks pembicaraan adalah tindakan-tindakan moral yang dapat menghantar setiap orang menjadi bijaksana seperti; sikap kerendahan hati, sikap menghargai orang lain, rajin, setia, sopan-santun, menghormati orang lain, bertanggung-jawab, disiplin, dan kewibawaan. Bagi Konfusius, setiap orang yang melakukan tindakan-tindakan seperti ini, dapat dikatakan sebagai manusia yang bermoral baik.[5] Ada juga tindakan-tindakan lain yang dikategorikan oleh Konfisius sebagai tindakan yang bermoral baik yakni seseorang yang memiliki cinta kasih terhadap sesama, berbudi luhur, menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, kesusilaan, konsisten dengan kata-katanya, bertenggang rasa, memuliakan takdir Tuhan, memuliakan orang-orang besar, memuliakan sabda luhur para nabi dan mengutamakan kepentingan umum.
Dalam kaitan dengan tindakan-tindakan moral ini, Konfusius walaupun tinggal di Istana tetapi dalam keseharian hidupnya, dia sangat dihargai oleh masyarakat China karena dia sangat menanamkan kewibawaan, kerendahan hati, kerajinan, kesopanan dan disiplin dalam waktu.[6] Di Istana, dia sangat menghargai para penasehat dan terbuka kepada penasehat tingkat atas. Dia sangat berterus terang jika ditanyakan sesuatu oleh para penasehat. Dia menjawab dengan sikap yang tenang dan hormat.[7]
Istana yang dilukiskan dalam kitab 10 ini bukanlah Istana yang menekankan penindasan dari raja kepada budak atau atasan kepada bawahan melainkan adanya gambaran kesatuan antara raja dan budak atau atasan dan bawahan. Adanya kehidupan harmoni yang terjadi dalam Istana. Konfusius mengajarkan, “Seorang penguasa seharusnya mendasarkan pemerintahannya di atas prinsip-prinsip kebajikan, maka ia akan menjadi seperti bintang kutub, yang tetap setia ditempatnya, sementara semua kumpulan bintang menghadap kearahnya.” [8] Ini berarti Konfusius percaya bahwa raja mempunyai peranan kosmis. Raja yang memerintah dengan kebajikan akan menjaga keharmonisan bukan saja di lingkungan manusia, tetapi juga di alam semesta. Dengan kata lain, konteks Istana dalam kitab ini lebih menggambarkan kehidupan keseharian yang harmoni dan damai yakni orang hidup saling menghargai, sopan-santun, rendah hari, rajin, disiplin, dan bertanggung jawab.
 Kesopanan yang digambarkan dalam kitab-10 ini mencakup; pertama, kesopanan dalam berkata-kata yakni tidak boleh berbicara sewaktu makan. Kedua, kesopanan dalam bertindak yakni Konfusius ketika berjalan menuju Istana tuannya, dia tidak berjalan dengan sombong. Dia berjalan dengan penuh hati-hati. Ketika dia melewati lingkungan tuannya, wajahnya menampakan ungkapan yang serius, langkahnya menjadi cepat dan kaka-katanya tampak lebih singkat. Setelah berhadapan dengan tuannya, dia berjalan dengan cepat dan kembali ke tempatnya dengan bersikap hormat. Ketiga, cara berpakaian yakni setiap orang yang berbudi luhur tentunya mengetahui konteks berpakaian. Pakaian yang digunakan  pada pesta tentunya berbeda dengan pakaian yang digunakan pada perayaan orang meninggal. Dengan kata lain, setiap orang harus mengetahui pakaian mana yang digunakan pada acara resmi dan tidak resmi.
Mengenai kerendahan hati, Konfusius memberikan teladan bahwa walaupun dia merupakan orang yang fasih berbicara namun dia tidak berbicara dengan enteng. Dia tidak pernah menyombongkan diri. Ketika dia dipanggil oleh tuannya untuk bertindak sebagai pelayan kepada para tamu, wajahnya menampakkan ekspersi yang serius dan langkahnya menjadi cepat dalam melayani. Hal ini tentunya menggambarkan kedisiplinan, kesetiaan, sikap yang rajin dan bertanggung-jawab dari Konfusius kepada setiap orang yang berjumpah dengannya.   
Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa menjadi orang yang bijaksana haruslah memiliki kualitas moral yang tinggi. Dengan kata lain, dalam konteks kitab ke-10, Konfusius mengajarkan agar setiap orang dapat belajar tentang kerendahan hati, menghargai orang lain, tentang kerajinan, kesopanan, kesetiaan, tanggungjawab, kedisiplinan, dan kewibawaan.

III.       Refleksi Kritis
Moralitas merupakan bagaimana manusia harus bertindak agar disebut manusia yang baik. Dengan kata lain moralitas memberikan kepada seseorang, aturan atau petunjuk yang konkret tentang bagaimana ia mesti hidup, bagaimana ia harus bertindak agar menjadi manusia yang baik, dan bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik. Ketika seseorang mampu berpikir tentang sesuatu yang baik yang harus dilakukan maka dengan sendirinya dia disebut sebagai orang bermoral.
Sebagai orang yang bermoral tentunya mempunyai kaitan dengan kebijaksanaan. Konteks moralitas yang digambarkan dalam kitab 10 ini tentunya berkaitan dengan kebijaksanaan. Kitab 10 diberikan judul “orang bijak dalam kesehariannya” karena mempunyai konteks yang berkaitan dengan tindakan-tindakan moral. Seseorang dikatakan bijak karena mempunyai pikiran yang mampu membedakan tindakan positif dan tindakan negatif. Pemikiran ini tentunya mempengaruhi tindakan moral dalam kehidupan keseharian. Dengan kata lain bertindak sesuai dengan moral yang baik berarti telah berpikir secara bijaksana. Maksudnya bahwa dalam kaitan dengan konteks moralitas, kebijaksanaan lebih menunjuk pada kemampuan berpikir dari seseorang untuk memilih dan menemukan mana yang baik dan benar.
Sebagai orang bijak, Konfusius tentunya dapat berpikir tentang kebaikan dan keburukan. Dan dengan berpikir tentang kebaikan yang harus dilakukan untuk diri sendiri dan orang lain maka dia telah melakukan kebijaksanaan. Kebijaksanaan lebih berpusat pada pikiran tentang kebaikan dan kebenaran. Pikiran tentang kebaikan ini dapat diterapkan dalam kehidupan keseharian seperti yang telah ditunjukan oleh Konfusius. Dan penerapan ini bukan lagi disebut sebagai kebijaksanaan saja tetapi disebut sebagai kebajikan. Dengan kata lain kebijaksaan telah menjadi sempurna setelah tindakan mengenai pikiran yang baik itu dijalankan atau diterapkan dalam hidup.
Konfusius dalam kitab ini mengajarkan bahwa orang yang bijaksana berarti orang yang mau belajar tentang moral yang baik dan dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran mengenai hal ini tentunya merupakan masukan yang perlu dikembangkan oleh setiap orang. Kebaikan-kebaikan moral yang ditunjukannya antara lain; kerendahan hati, menghargai orang lain, bersikap rajin, kesopanan, kesetiaan, tanggungjawab, kedisiplinan, dan kewibawaan. Kebaikan-kebaikan ini merupakan nilai-nilai moral yang harus diketahui dan dilakukan dalam kehidupan keseharian kita.

IV.       Penutup: Relevansi
Dari penjelasan mengenai konteks kitab dan pendalaman teks serta refleksi kritis, saya sebagai penulis dapat menarik relevansi yang berguna dalam kehidupan sekarang ini antara lain; pertama, belajar rendah hati. Konfusius memberikan teladan bahwa walapun dia adalah orang yang fasih berbicara namun dia tidak menyombongkan diri dengan menganggap enteng lawan bicaranya. Sebagai mahasiswa filsafat yang mempunyai pengetahuan rasional, logis, dan sistematis janganlah kita gunakan untuk menjebak orang lain tetapi gunakanlah sebagai sarana untuk membantu diri sendri dan orang lain dalam mengembangkan proses berpikir.
Kedua, kesetiaan, kedisiplinan, sikap yang rajin dan bertanggung-jawab. Ketika Konfusius dipanggil oleh tuannya untuk bertindak sebagai pelayan kepada para tamu, wajahnya menampakkan ekspresi yang serius dan langkahnya menjadi cepat dalam melayani. Hal ini tentunya menggambarkan kedisiplinan, kesetiaan, sikap yang rajin dan bertanggung-jawab dari Konfusius kepada setiap orang yang berjumpa dengannya.
Dalam kaitan dengan seorang calon iman tentunya kesetian, kedisiplinan, sikap yang rajin dan bertanggung-jawab yang ditunjuki oleh Konfusius sangat relevan. Sebagai calon imam, saya diajarkan oleh Konfusius untuk setia kepada Tuhan yang esa dan belajar setia kepada Gereja dalam bentuk pengabdian. Saya juga belajar untuk bersikap rajin terhadap pekerjaan yang diberikan dan bertanggung-jawab atas pekerjaan tersebut.  
Ketiga, kesopanan. Ketika Konfusius berjalan menuju Istana tuannya, dia berjalan dengan penuh hati-hati. Apabila makan, dia tidak akan berbicara. Dalam cara berpakaian, dia selalu membedakan cara berpakaian resmi dan tidak resmi. Dia berpakaian secara resmi ketika mengikuti acara resmi dan menggunakan pakaian biasa jika berada di rumah. Hal-hal ini, tentunya masih relevan hingga sekarang ini. Dalam lingkup pemerintahan, seorang bawahan ketika dipanggil untuk menghadap presiden tentunya dia akan berjalan dengan penuh keseriusan. Dan ketika menghadap presiden di Istana Kepresidenan, tentunya dia akan menggunakan pakaian yang resmi.

Daftar Pustaka  
·         Harsanto Damar., Majalah Filsafat Diryakarya tahun XXIV, No.1. Jakarta: STF Driyakarya, 1999.
·         Kristan., Bangga Menjadi Konghucu (Proud  to be Confucian). Jakarta: Gemaku, 2010.
·         Ohoitimur. J., Catatan Kuliah Etika Umum. Pineleng: STF-SP, 2011
·         Ohoiwutun Barnabas., Catatan Kuliah Filsafat Cina. Pineleng: STF-SP, 2012
·         http://www.meandconfucius.com.bu-chi-xia-wen.html. Diposting oleh Me and Confucius, April 2011. Diunduh tanggal 18 Mei 2012


[1] Lih. Damar Harsanto., Majalah Filsafat Diryakarya tahun XXIV, No.1. Jakarta: STF Driyakarya, 1999. Hlm. 28.
[2] Lih. J. Ohoitimur., Catatan Kuliah Etika Umum. Pineleng: STF-SP, 2011. Hlm. 5.
[3] Bdk. Barnabas Ohoiwutun., Catatan Kuliah Filsafat Cina. Pineleng: STF-SP, 2012
[4] Bdk. Kristan., Bangga Menjadi Konghucu (Proud  to be Confucian). Jakarta: Gemaku. 2010.Hlm. 60.
[5] Lih. Kristan., ………..Hlm.110.
[6] Bdk. http://www.meandconfucius.com.bu-chi-xia-wen.html. Diposting oleh Me and Confucius, April 2011. Diunduh tanggal 18 Mei 2012.
[7] Kitab 10, Bab 2 “Di istana, ketika berbicara dengan para penasehat tingkat rendah, dia bersikap sopan;  ketika berbicara dengan para penasehat tingkat atas, dia berterus terang meskipun bersikap hormat. Di hadapan tuannya, sikapnya tenang meskipun hormat.”
[8] Lih. Kristan.,……...Hlm. 110.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar