Filsafat China (Tafsir Kitab Konfusius)
KITAB 10: ORANG
BIJAK DALAM KEHIDUPAN KESEHARIANNYA
(Bab 1 - 14)
Pendahuluan
Konfusius lahir pada tahun 551 SM di
Propinsi Shantung, China bagian timur. Dalam sejarah China, Konfusius adalah
negarawan besar, pemikir besar, dan juga seorang pendidik. Pada masa hidup
Konfusius, negaranya sedang mengalami kekacauan. Dengan kata lain, Konfusius hidup
pada zaman disintegrasi sosial-politik dan kemerosotan moral. Berbagai
penyimpangan dilakukan oleh pemerintah, disintegrasi negara, pemberontakan, dan
terjadi begitu banyak kejahatan, serta banyak orang yang hidup tanpa aturan
yang jelas. Kondisi sosial China pada saat itu menunjukkan ketidakteraturan,
degradasi moral dan anarki intelektual. Dalam situasi demikian Konfusius
menghasilkan berbagai gagasan pemikiran sebagai tanggapan atas permasalahan
sosial yang dihadapi negaranya.[1]
Namun yang menjadi permasalahan juga
adalah gagasan-gagasan Konfusius tidak mendapatkan perhatian pada masa
hidupnnya. Ajaran Konfusius justru mengalami penindasan. Yang menjadi satu hal
positif dari konfusius adalah walaupun gagasan-gagasannya tidak mendapat
perhatian tetapi gagasan-gagasannya sendiri telah memberikan kontribusi yang
sangat besar dalam kehidupan masyarakat, khususnya China. Gagasan-gagasan yang
memberikan kontribusi besar yakni Etika dan moral serta pendidikan.
Dalam kitab 10 yakni orang bijak dalam
kehidupan kesehariannya juga menggambarkan pemikiran Konfusius mengenai
tindakan moral. Dengan kata lain pendidikan moral merupakan ajaran yang sangat
ditekankan oleh Konfusius. Yang menjadi pertanyaan bagi penulis adalah pertama, ketika melihat gambaran umum
dari kitab 10 ini, apakah yang menjadi konteks pembicaraan yang dapat
dijelaskan? Kedua, apa makna yang
dapat diambil dari ayat-ayat di dalam kitab tersebut? Ketiga, bagaimana dapat menjelaskan makna dari teks yang telah
dipilih dalam kaitan dengan relevansi sekarang? Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini, penulis akan membuat paper ini dalam bentuk tiga
bagian yakni pertama, penjelasan
tentang konteks dari kitab 10 yang berbicara mengenai orang bijak dalam
kesehariannya. Kedua, pendalaman
tentang ayat-ayat yang berada dalam kitab kesepuluh (khususnya bab 1-14), dan
ketiga, refleksi dan relevansi dari makna yang didapat.
I. Konteks Kitab
Setelah membaca
keseluruhan mengenai kitab ini, ditemukan bahwa yang menjadi konteks dalam
kitab 10 (Orang bijak dalam kehidupan kesehariannya) yakni Istana di zaman
Konfusius. Dengan kata lain, kitab ini lebih berbicara mengenai konteks moralitas
dari Konfusius dalam Istana pada zamannya. Konteks moralitas ini dilihat
sebagai prinsip yang mengantar seseorang menjadi bijaksana.
Kata moralitas
berarti keseluruhan nilai-nilai dan norma-norma moral seseorang atau suatu
masyarakat. Dengan nilai moral dimaksudkan sesuatu yang diyakini bermakna mulia
dan ideal, dan karena itu dicita-citakan oleh seseorang atau sekelompok orang.
Sedangkan dengan norma moral dimaksudkan aturan tentang bagaimana seseorang
atau sekelompok orang harus hidup atau berperilaku supaya disebut manusia yang
baik. Nilai dan norma moral terhimpun di dalam apa yang disebut moralitas. Itu
berarti moralitas merupakan sistem nilai dan norma tentang bagaimana manusia harus
bertindak agar disebut manusia yang baik.[2]
Menurut Konfusius, moralitas mempunyai beberapa
prinsip yakni Jen, Li, Yi, Hsiao, dan Cheng Ming. Jen berarti kemanusiaan.
Menurut Konfusius, hidup menurut jen berarti penyadaran hati nurani yang
disebut dengan (Chung) dan altrusme (Shu). Chung menuntut perkembangan dan
ekspresi kemanusiaan, sedangkan Shu menunjuk pada perwujudan Jen kepada yang
lain. Artinya setiap orang wajib mengembangkan dan menghidupkan kebajikan serta
merealisasikannya kepada orang lain. Jen sendiri merupakan dasar dari
kemanusiaan tetapi menurut Konfusius, Jen membutuhkan Li, Yi, Hsiao, dan Cheng-Ming
untuk dapat terwujudnya keutamaan moral. Li menyangkut sikap kita yang pantas,
yang wajar atau sikap kita yang sepatutnya atau sepantasnya ketika kita
berhadapan dengan orang lain. Yi menyangkut cara bertindak yang benar dan tepat
dalam situasi khusus supaya selaras dengan Jen. Hsiao menyangkut keutamaan atau
kebajikan untuk menghormati dan menghargai keluarga. Hal ini menunjuk pada
sikap hormat dan respek, cinta seorang anak kepada orang tua yang kemudian mengalami
perkembangan dan menunjuk pada kebajikan moral
dan sosial seseorang. Cheng-Ming menunjuk pada kesesuaian antara
tindakan yang dilakukan dengan identitas dari orang yang melakukan tindakan
tersebut.[3] Dengan
demikian Konfusius dalam kitab ke-10 mengajarkan bahwa menjadi orang yang
bijaksana, haruslah bertindak dengan moral yang baik. Tujuan utama dari ajaran Konfusius
yang diajarkan kepada setiap orang adalah agar setiap orang mempunyai moral
yang berkualitas tinggi.[4]
Dengan kata lain orang yang bijak dalam kesehariaannya berarti orang yang dalam
kesehariaannya mempunyai moral yang baik bagi diri sendiri dan orang lain
.
II. Teks-Teks Yang Didalami
Setelah membaca
teks-teks yang menjadi bagian saya (bab 1-14),
ditemukan bahwa yang menjadi konteks pembicaraan adalah
tindakan-tindakan moral yang dapat menghantar setiap orang menjadi bijaksana seperti;
sikap kerendahan hati, sikap menghargai orang lain, rajin, setia, sopan-santun,
menghormati orang lain, bertanggung-jawab, disiplin, dan kewibawaan. Bagi Konfusius,
setiap orang yang melakukan tindakan-tindakan seperti ini, dapat dikatakan
sebagai manusia yang bermoral baik.[5] Ada
juga tindakan-tindakan lain yang dikategorikan oleh Konfisius sebagai tindakan
yang bermoral baik yakni seseorang yang memiliki cinta kasih terhadap sesama,
berbudi luhur, menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, kesusilaan, konsisten
dengan kata-katanya, bertenggang rasa, memuliakan takdir Tuhan, memuliakan
orang-orang besar, memuliakan sabda luhur para nabi dan mengutamakan
kepentingan umum.
Dalam kaitan dengan
tindakan-tindakan moral ini, Konfusius walaupun tinggal di Istana tetapi dalam
keseharian hidupnya, dia sangat dihargai oleh masyarakat China karena dia
sangat menanamkan kewibawaan, kerendahan hati, kerajinan, kesopanan dan
disiplin dalam waktu.[6] Di
Istana, dia sangat menghargai para penasehat dan terbuka kepada penasehat
tingkat atas. Dia sangat berterus terang jika ditanyakan sesuatu oleh para
penasehat. Dia menjawab dengan sikap yang tenang dan hormat.[7]
Istana yang
dilukiskan dalam kitab 10 ini bukanlah Istana yang menekankan penindasan dari
raja kepada budak atau atasan kepada bawahan melainkan adanya gambaran kesatuan
antara raja dan budak atau atasan dan bawahan. Adanya kehidupan harmoni yang
terjadi dalam Istana. Konfusius mengajarkan, “Seorang penguasa seharusnya
mendasarkan pemerintahannya di atas prinsip-prinsip kebajikan, maka ia akan
menjadi seperti bintang kutub, yang tetap setia ditempatnya, sementara semua
kumpulan bintang menghadap kearahnya.” [8]
Ini berarti Konfusius percaya bahwa raja mempunyai peranan kosmis. Raja yang
memerintah dengan kebajikan akan menjaga keharmonisan bukan saja di lingkungan
manusia, tetapi juga di alam semesta. Dengan kata lain, konteks Istana dalam
kitab ini lebih menggambarkan kehidupan keseharian yang harmoni dan damai yakni
orang hidup saling menghargai, sopan-santun, rendah hari, rajin, disiplin, dan
bertanggung jawab.
Kesopanan yang digambarkan dalam kitab-10 ini
mencakup; pertama, kesopanan dalam
berkata-kata yakni tidak boleh berbicara sewaktu makan. Kedua, kesopanan dalam bertindak yakni Konfusius ketika berjalan
menuju Istana tuannya, dia tidak berjalan dengan sombong. Dia berjalan dengan
penuh hati-hati. Ketika dia melewati lingkungan tuannya, wajahnya menampakan
ungkapan yang serius, langkahnya menjadi cepat dan kaka-katanya tampak lebih
singkat. Setelah berhadapan dengan tuannya, dia berjalan dengan cepat dan
kembali ke tempatnya dengan bersikap hormat. Ketiga, cara berpakaian yakni setiap orang yang berbudi luhur
tentunya mengetahui konteks berpakaian. Pakaian yang digunakan pada pesta tentunya berbeda dengan pakaian
yang digunakan pada perayaan orang meninggal. Dengan kata lain, setiap orang harus
mengetahui pakaian mana yang digunakan pada acara resmi dan tidak resmi.
Mengenai kerendahan
hati, Konfusius memberikan teladan bahwa walaupun dia merupakan orang yang
fasih berbicara namun dia tidak berbicara dengan enteng. Dia tidak pernah
menyombongkan diri. Ketika dia dipanggil oleh tuannya untuk bertindak sebagai
pelayan kepada para tamu, wajahnya menampakkan ekspersi yang serius dan
langkahnya menjadi cepat dalam melayani. Hal ini tentunya menggambarkan
kedisiplinan, kesetiaan, sikap yang rajin dan bertanggung-jawab dari Konfusius kepada
setiap orang yang berjumpah dengannya.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat dikatakan
bahwa menjadi orang yang bijaksana haruslah memiliki kualitas moral yang
tinggi. Dengan kata lain, dalam konteks kitab ke-10, Konfusius mengajarkan agar
setiap orang dapat belajar tentang kerendahan hati, menghargai orang lain,
tentang kerajinan, kesopanan, kesetiaan, tanggungjawab, kedisiplinan, dan
kewibawaan.
III. Refleksi Kritis
Moralitas merupakan
bagaimana manusia harus bertindak agar disebut manusia yang baik. Dengan kata
lain moralitas memberikan kepada seseorang, aturan atau petunjuk yang konkret
tentang bagaimana ia mesti hidup, bagaimana ia harus bertindak agar menjadi
manusia yang baik, dan bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik.
Ketika seseorang mampu berpikir tentang sesuatu yang baik yang harus dilakukan
maka dengan sendirinya dia disebut sebagai orang bermoral.
Sebagai orang
yang bermoral tentunya mempunyai kaitan dengan kebijaksanaan. Konteks moralitas
yang digambarkan dalam kitab 10 ini tentunya berkaitan dengan kebijaksanaan.
Kitab 10 diberikan judul “orang bijak dalam kesehariannya” karena mempunyai
konteks yang berkaitan dengan tindakan-tindakan moral. Seseorang dikatakan
bijak karena mempunyai pikiran yang mampu membedakan tindakan positif dan
tindakan negatif. Pemikiran ini tentunya mempengaruhi tindakan moral dalam
kehidupan keseharian. Dengan kata lain bertindak sesuai dengan moral yang baik
berarti telah berpikir secara bijaksana. Maksudnya bahwa dalam kaitan dengan konteks
moralitas, kebijaksanaan lebih menunjuk pada kemampuan berpikir dari seseorang
untuk memilih dan menemukan mana yang baik dan benar.
Sebagai orang
bijak, Konfusius tentunya dapat berpikir tentang kebaikan dan keburukan. Dan
dengan berpikir tentang kebaikan yang harus dilakukan untuk diri sendiri dan
orang lain maka dia telah melakukan kebijaksanaan. Kebijaksanaan lebih berpusat
pada pikiran tentang kebaikan dan kebenaran. Pikiran tentang kebaikan ini dapat
diterapkan dalam kehidupan keseharian seperti yang telah ditunjukan oleh Konfusius.
Dan penerapan ini bukan lagi disebut sebagai kebijaksanaan saja tetapi disebut
sebagai kebajikan. Dengan kata lain kebijaksaan telah menjadi sempurna setelah
tindakan mengenai pikiran yang baik itu dijalankan atau diterapkan dalam hidup.
Konfusius dalam kitab ini mengajarkan bahwa orang
yang bijaksana berarti orang yang mau belajar tentang moral yang baik dan
dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran mengenai hal ini tentunya
merupakan masukan yang perlu dikembangkan oleh setiap orang. Kebaikan-kebaikan moral
yang ditunjukannya antara lain; kerendahan hati, menghargai orang lain,
bersikap rajin, kesopanan, kesetiaan, tanggungjawab, kedisiplinan, dan
kewibawaan. Kebaikan-kebaikan ini merupakan nilai-nilai moral yang harus
diketahui dan dilakukan dalam kehidupan keseharian kita.
IV. Penutup: Relevansi
Dari penjelasan
mengenai konteks kitab dan pendalaman teks serta refleksi kritis, saya sebagai
penulis dapat menarik relevansi yang berguna dalam kehidupan sekarang ini
antara lain; pertama, belajar rendah hati. Konfusius
memberikan teladan bahwa walapun dia adalah orang yang fasih berbicara namun
dia tidak menyombongkan diri dengan menganggap enteng lawan bicaranya. Sebagai
mahasiswa filsafat yang mempunyai pengetahuan rasional, logis, dan sistematis
janganlah kita gunakan untuk menjebak orang lain tetapi gunakanlah sebagai
sarana untuk membantu diri sendri dan orang lain dalam mengembangkan proses
berpikir.
Kedua, kesetiaan, kedisiplinan, sikap yang rajin dan
bertanggung-jawab.
Ketika Konfusius dipanggil oleh tuannya untuk bertindak sebagai pelayan kepada
para tamu, wajahnya menampakkan ekspresi yang serius dan langkahnya menjadi
cepat dalam melayani. Hal ini tentunya menggambarkan kedisiplinan, kesetiaan,
sikap yang rajin dan bertanggung-jawab dari Konfusius kepada setiap orang yang
berjumpa dengannya.
Dalam kaitan
dengan seorang calon iman tentunya kesetian, kedisiplinan, sikap yang rajin dan
bertanggung-jawab yang ditunjuki oleh Konfusius sangat relevan. Sebagai calon
imam, saya diajarkan oleh Konfusius untuk setia kepada Tuhan yang esa dan
belajar setia kepada Gereja dalam bentuk pengabdian. Saya juga belajar untuk
bersikap rajin terhadap pekerjaan yang diberikan dan bertanggung-jawab atas
pekerjaan tersebut.
Ketiga, kesopanan.
Ketika Konfusius berjalan menuju Istana tuannya, dia berjalan dengan penuh
hati-hati. Apabila makan, dia tidak akan berbicara. Dalam cara berpakaian, dia
selalu membedakan cara berpakaian resmi dan tidak resmi. Dia berpakaian secara resmi
ketika mengikuti acara resmi dan menggunakan pakaian biasa jika berada di
rumah. Hal-hal ini, tentunya masih relevan hingga sekarang ini. Dalam lingkup
pemerintahan, seorang bawahan ketika dipanggil untuk menghadap presiden
tentunya dia akan berjalan dengan penuh keseriusan. Dan ketika menghadap
presiden di Istana Kepresidenan, tentunya dia akan menggunakan pakaian yang
resmi.
Daftar
Pustaka
·
Harsanto
Damar., Majalah Filsafat Diryakarya tahun
XXIV, No.1. Jakarta: STF Driyakarya, 1999.
·
Kristan.,
Bangga Menjadi Konghucu (Proud to be Confucian). Jakarta: Gemaku, 2010.
·
Ohoitimur.
J., Catatan Kuliah Etika Umum.
Pineleng: STF-SP, 2011
·
Ohoiwutun
Barnabas., Catatan Kuliah Filsafat Cina.
Pineleng: STF-SP, 2012
·
http://www.meandconfucius.com.bu-chi-xia-wen.html.
Diposting oleh Me and Confucius, April 2011. Diunduh
tanggal 18 Mei 2012
[1] Lih. Damar Harsanto., Majalah Filsafat Diryakarya tahun XXIV,
No.1. Jakarta: STF Driyakarya, 1999. Hlm. 28.
[2] Lih. J. Ohoitimur., Catatan Kuliah Etika Umum. Pineleng:
STF-SP, 2011. Hlm. 5.
[3] Bdk. Barnabas Ohoiwutun., Catatan Kuliah Filsafat Cina. Pineleng: STF-SP,
2012
[4] Bdk. Kristan., Bangga Menjadi Konghucu (Proud to be Confucian). Jakarta: Gemaku.
2010.Hlm. 60.
[5] Lih. Kristan., ………..Hlm.110.
[6] Bdk. http://www.meandconfucius.com.bu-chi-xia-wen.html.
Diposting oleh Me and Confucius, April 2011.
Diunduh tanggal 18 Mei 2012.
[7]
Kitab 10, Bab 2 “Di istana, ketika berbicara dengan para
penasehat tingkat rendah, dia bersikap sopan;
ketika berbicara dengan para penasehat tingkat atas, dia berterus terang
meskipun bersikap hormat. Di hadapan tuannya, sikapnya tenang meskipun hormat.”
[8] Lih. Kristan.,……...Hlm. 110.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar