Jumat, 25 Mei 2012

MAX STIRNER “EGOIS YANG RADIKAL”


MAX STIRNER
“EGOIS YANG RADIKAL
A.    Manusia menurut Max Stirner.
Max Stirner adalah filsuf Jerman yang terkenal dengan teorinya mengenai individualisme radikal. Baginya, manusia merupakan pribadi yang unik dan memiliki kehendak untuk berkuasa. Pribadi yang unik menunjuk pada kekuasaan saya yang tidak dilebihi oleh orang lain. Dengan kata lain, Max Striner mengatakan bahwa; “bagiku tidak ada yang melebihi Aku! Aku berhak melakukan apa saja yang aku bisa.[1] Max Striner tidak mempedulikan dan melibatkan Tuhan, karena menurutnya manusia punya urusan manusia, Tuhan punya urusan-Nya sendiri, Urusannya adalah urusannya sendiri bukan bersifat umum, dan tidak ada yang melebihi aku (Egois). Aku berhak menjatuhkan Zeus dan Allah dari singgasana mereka jika aku bisa. Jika tidak bisa, maka Mereka tetap mempertahankan hak dan kuasanya melawan aku.
Max Stirner juga menggambarkan bahwa manusia sebagai pribadi yang unik tidak perlu mementingkan kepentingan umum dan masyarakat karena kedua hal ini hanyalah merupakan puncak penyangkalan diri. Hubungan dengan keluarga juga diputuskan. Maka yang ditekankan oleh Max Stirner dalam pandangannya mengenai manusia adalah egois yang radikal atau kepentingan pribadi. Tidak perlu dengan adanya sikap solidaritas, cinta kasih, belas.kasihan, dan kemurahan hati terhadap sesama. Bagi Max Stirner satu-satunya tujuan hidup seorang manusia adalah dirinya sendiri.[2]
B.     Manusia menurut ajaran kristiani
Manusia adalah satu-satunya makhluk hidup yang dikehendaki Allah dan dipanggil untuk mengambil bagian dalam ilahi-Nya melalui cinta kasih (lih. KGK 355-357). Allah menghendaki agar setiap pribadi mampu masuk dalam persatuan dengan diri-Nya dan sesama. Dalam persekutuan dengan Allah manusia memperoleh kebenaran dan cinta kasih.[3] Allah yang sebagai Bapa memelihara semua orang, menghendaki agar mereka semua merupakan satu keluarga, dan saling menghadapi dengan sikap persaudaraan. Oleh karena itu cinta kasih terhadap Allah dan sesama merupakan perintah yang paling utama.[4]Hendaknya engkau mengasihi sesama seperti dirimu sendiri (Rom 13:9).
Sikap hormat terhadap sesama manusia juga ditekankan dalam Konsili Vatikan II. Sehingga dengan sikap hormat, setiap orang wajib memandang sesamanya sebagai manusia yang bermartabat. Sikap hormat dan cinta kasih harus diperluas untuk menampung siapa saja yang bertentangan dengan kita di bidang sosial, politik dan keagamaan. Semakin dalam sikap ramah dan cinta kasih kita maka semakin mudah pula kita berdialog dengan mereka.[5] Bahkan Yesus pun berdoa; “supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang mengutus Aku. Dan Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepada-Ku, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku” (Yoh 17:21-22).
Dengan demikian Allah menghendaki bahwa manusia diciptakan bukan untuk hidup sendiri-sendiri melainkan untuk membentuk persatuan sosial. Oleh karena itu semua orang perlu di dorong untuk melibatkan diri dalam usaha-usaha bersama yang berguna bagi kepentingan umum.[6] Kelompok-kelompok organisasi yang seluruhnya membentuk tubuh masyarakat perlu menarik nilai-nilai yang bermakna dan menarik bagi mereka untuk membangkitkan kesediaan mereka untuk melayani sesama.
C.    Refleksi Kritis
Berdasarkan studi dan analisa mengenai pandangan Max Striner dan ajaran kristiani tentang manusia maka terlihat jelas bahwa pandangan manusia yang dikemukakan oleh Max Stirner sangat bertolak belakang dengan ajaran Gereja. Max Stirner sangat menekankan egois yang radikal. Dia berpendapat bahwa tidak ada yang melebihinya. Dia pun berhak untuk menjatuhkan Allah. Max tidak mempedulikan dan melibatkan Tuhan, karena menurutnya manusia punya urusan manusia, Tuhan punya urusan-Nya sendiri, Urusannya adalah urusannya sendiri bukan bersifat umum. Keegoisan yang mendewakan dirinya ini tentunya sangat bertentangan dengan firman Tuhan, “terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari Tuhan. Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan” (Yer. 17:5,7).
Max Stirner mengajarkan bahwa kita tidak perlu mementingkan kepentingan umum karena kepentingan umum merupakan suatu penyangkalan diri. Tidak perlu dengan adanya cinta kasih, persaudaraan, saling mengasihi, menghormati dan kemurahan hati terhadap sesama. Terhadap pandangan ini, konsili menegaskan bahwa etika individualis harus diatasi. Setiap orang yang menyepelekan aturan sosial merupakan sikap dan tindakan yang membahyakan diri sendiri dan orang lain. Cinta kasih, saling mengasihi dalam Gereja atau ajaran kristiani merupakan hukum yang paling utama. Dengan hukum ini maka Gereja juga mengajarkan bahwa setiap orang diciptakan oleh Allah bukan untuk hidup sendiri-sendiri tetapi hidup membentuk persatuan sosial.


[1] Lih. A. van der Weiij., Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 1996
[2] Lih. George J. Stack.. "Stirner, Max". In The Cambridge Dictionary of Philosophy.. London: Cambridge University Press, 1999. Hal. 878-879. http://id.wikipedia.org/wiki/Max_Stirner.com
[3] Lih Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral Tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, Art. 19.
[4] Lih Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral Tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, Art. 24
[5] Lih Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral Tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, Art. 27-28
[6] Lih Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral Tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, Art. 30-32

Tidak ada komentar:

Posting Komentar