MAX
STIRNER
“EGOIS
YANG RADIKAL”
A. Manusia menurut Max Stirner.
Max Stirner adalah filsuf Jerman yang terkenal
dengan teorinya mengenai individualisme radikal. Baginya, manusia merupakan pribadi
yang unik dan memiliki kehendak untuk berkuasa. Pribadi yang unik menunjuk pada
kekuasaan saya yang tidak dilebihi oleh orang lain. Dengan kata lain, Max Striner
mengatakan bahwa; “bagiku tidak ada yang melebihi Aku! Aku berhak melakukan apa
saja yang aku bisa.[1]
Max Striner tidak mempedulikan dan
melibatkan Tuhan, karena menurutnya manusia punya urusan manusia, Tuhan punya
urusan-Nya sendiri, Urusannya adalah urusannya sendiri bukan bersifat umum, dan
tidak ada yang melebihi aku (Egois). Aku berhak menjatuhkan Zeus dan Allah dari
singgasana mereka jika aku bisa. Jika tidak bisa, maka Mereka tetap
mempertahankan hak dan kuasanya melawan aku.
Max Stirner juga menggambarkan bahwa manusia sebagai
pribadi yang unik tidak perlu mementingkan kepentingan umum dan masyarakat
karena kedua hal ini hanyalah merupakan puncak penyangkalan diri. Hubungan
dengan keluarga juga diputuskan. Maka yang ditekankan oleh Max Stirner dalam
pandangannya mengenai manusia adalah egois yang radikal atau kepentingan
pribadi. Tidak perlu dengan adanya sikap solidaritas, cinta kasih, belas.kasihan,
dan kemurahan hati terhadap sesama. Bagi Max Stirner satu-satunya tujuan hidup
seorang manusia adalah dirinya sendiri.[2]
B. Manusia menurut ajaran kristiani
Manusia adalah satu-satunya makhluk hidup yang
dikehendaki Allah dan dipanggil untuk mengambil bagian dalam ilahi-Nya melalui
cinta kasih (lih. KGK 355-357). Allah menghendaki agar setiap pribadi mampu
masuk dalam persatuan dengan diri-Nya dan sesama. Dalam persekutuan dengan
Allah manusia memperoleh kebenaran dan cinta kasih.[3]
Allah yang sebagai Bapa memelihara semua orang, menghendaki agar mereka semua
merupakan satu keluarga, dan saling menghadapi dengan sikap persaudaraan. Oleh
karena itu cinta kasih terhadap Allah dan sesama merupakan perintah yang paling
utama.[4]Hendaknya
engkau mengasihi sesama seperti dirimu sendiri (Rom 13:9).
Sikap hormat terhadap sesama manusia juga ditekankan
dalam Konsili Vatikan II. Sehingga dengan sikap hormat, setiap orang wajib
memandang sesamanya sebagai manusia yang bermartabat. Sikap hormat dan cinta
kasih harus diperluas untuk menampung siapa saja yang bertentangan dengan kita
di bidang sosial, politik dan keagamaan. Semakin dalam sikap ramah dan cinta
kasih kita maka semakin mudah pula kita berdialog dengan mereka.[5]
Bahkan Yesus pun berdoa; “supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau
ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita,
supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang mengutus Aku. Dan Aku telah
memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepada-Ku, supaya dunia
percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku” (Yoh 17:21-22).
Dengan demikian Allah menghendaki bahwa manusia
diciptakan bukan untuk hidup sendiri-sendiri melainkan untuk membentuk
persatuan sosial. Oleh karena itu semua orang perlu di dorong untuk melibatkan
diri dalam usaha-usaha bersama yang berguna bagi kepentingan umum.[6]
Kelompok-kelompok organisasi yang seluruhnya membentuk tubuh masyarakat perlu
menarik nilai-nilai yang bermakna dan menarik bagi mereka untuk membangkitkan
kesediaan mereka untuk melayani sesama.
C. Refleksi Kritis
Berdasarkan studi dan analisa mengenai
pandangan Max Striner dan ajaran kristiani tentang manusia maka terlihat jelas
bahwa pandangan manusia yang dikemukakan oleh Max Stirner sangat bertolak
belakang dengan ajaran Gereja. Max Stirner sangat menekankan egois yang
radikal. Dia berpendapat bahwa tidak ada yang melebihinya. Dia pun berhak untuk
menjatuhkan Allah. Max
tidak mempedulikan dan melibatkan Tuhan, karena menurutnya manusia punya urusan
manusia, Tuhan punya urusan-Nya sendiri, Urusannya adalah urusannya sendiri
bukan bersifat umum. Keegoisan yang mendewakan dirinya ini tentunya sangat
bertentangan dengan firman Tuhan, “terkutuklah orang yang mengandalkan manusia,
yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari Tuhan.
Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan”
(Yer. 17:5,7).
Max Stirner mengajarkan bahwa kita tidak perlu
mementingkan kepentingan umum karena kepentingan umum merupakan suatu
penyangkalan diri. Tidak perlu dengan adanya cinta kasih, persaudaraan, saling mengasihi,
menghormati dan kemurahan hati terhadap sesama. Terhadap pandangan ini, konsili
menegaskan bahwa etika individualis harus diatasi. Setiap orang yang
menyepelekan aturan sosial merupakan sikap dan tindakan yang membahyakan diri
sendiri dan orang lain. Cinta kasih, saling mengasihi dalam Gereja atau ajaran
kristiani merupakan hukum yang paling utama. Dengan hukum ini maka Gereja juga
mengajarkan bahwa setiap orang diciptakan oleh Allah bukan untuk hidup
sendiri-sendiri tetapi hidup membentuk persatuan sosial.
[1]
Lih. A. van der Weiij., Filsuf-Filsuf
Besar tentang Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 1996
[2]
Lih. George J. Stack.. "Stirner, Max". In The
Cambridge Dictionary of Philosophy.. London: Cambridge University Press, 1999.
Hal. 878-879. http://id.wikipedia.org/wiki/Max_Stirner.com
[3]
Lih Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral Tentang Gereja di Dunia Dewasa ini,
Art. 19.
[4]
Lih Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral Tentang Gereja di Dunia Dewasa ini,
Art. 24
[5]
Lih Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral Tentang Gereja di Dunia Dewasa ini,
Art. 27-28
[6]
Lih Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral Tentang Gereja di Dunia Dewasa ini,
Art. 30-32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar